Sekolah Pamong

Setelah mendapat kecaman dari masyarakat luas dan beberapa gubernur mengancam tidak mau mengirimkan lagi calon prajanya ke IPDN, akhirnya kasus kematian Clif Muntu dibahas di Istana Negera. Pemerintah memutuskan IPDN tidak akan menerima praja baru pada tahun 2007-2008 guna dilakukan penataan kembali. Sementara, Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi dilaporkan ke Mabes Polri. Berdasarkan laporan, sejak 1993 hingga kini ada 27 praja IPDN yang tewas diduga akibat kekerasan.

IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) berdiri sejak 1956 di Malang. Pada 1965-1970 IPDN menyebar ke-20 propinsi. Pada 1989 ke-20 IPDN itu disatukan di Jatinagor, Subang, Jawa Barat. Setiap lulusannya dikukuhkan oleh Presiden RI sebagai calon pamongpraja muda. Sampai saat itu tidak pernah ada praja yang meninggal dunia. Ada yang menduga, karena pelatihnya militer yang mengetahui anotomi tubuh — bagian mana yang tidak boleh dan berbahaya bila dipukul.

Pemerintah kolonial Belanda, terutama pada saat liberalisasi menjelang akhir abad ke-19, memerlukan tenaga-tenaga pamong praja untuk ditempatkan di departemen-departemen, perkantoran pemerintahan dan juga berbagai kongsi dagang. Maka didirikanlah kantor departemen Binnenlands Bestuur (BB) yang mengurusi soal-soal pemerintahan dalam negeri.

Saat itu di Batavia berdiri sekolah pamongpraja OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Amtenanareen) dan Mosvia (Middelebare Opleiding School Voor Inlandsche Amtenaren).

Kedua sekolah pamong praja itu khusus untuk pribumi. Mereka akan dipromosikan sebagai bupati, patih dan wedana. Memasuki era kemajuan, jabatan — yang semula turun temurun pada bangsawan terkemuka — itu memerlukan tenaga yang lebih profesional.

Sebagai negara yang menjajah, Belanda mengadakan diskriminasi dalam soal jabatan. Gubernur jenderal, gubernur, residen, asisten residen, dan kontrolir, dipegang oleh Belanda. Karena banyak lulusan BB yang setelah memegang jabatan melakukan korupsi, maka sebagai ejekan BB diplesetkan menjadi ‘buaya besar’.

Pada era liberalisasi, modal-modal raksasa dari Belanda, Inggris, AS, Jerman, dan Prancis, memasuki Hindia Belanda. Didirikanlah Perguruan Tinggi Kedokteran (Geneeskumilige Hoge School — GHS) di Batavia. Selain itu, juga ada perguruan tinggi untuk mencapai Meester in de Rechten (MR) — kini sarjana hukum — di Jalan Medan Merdeka Barat yang gedungnya kini menjadi Departemen Hankam. Sedangkan di Bandung didirikan Technische Hoge School yang kini menjadi ITB.

Menjadi pertanyaan, apakah di berbagai perguruan tinggi, termasuk pendidikan pamong praja, saat itu sudah menerapkan sistem perpeloncoan. Yang pasti, sistem perpeloncoan itu merupakan warisan Belanda. Meskipun sejauh ini, berdasarkan data-data sejarah, tidak ada berita-berita mengenai korban tewas akibat kekerasan para seniornya. Di Belanda sendiri sejak 1960 sistem perpeloncoan sudah dihilangkan. Sementara, saat itu di Indonesia justru sedang digalakkan.

Seorang kerabat saya, Dorodjatun Kuncoro Yakti, menceritakan pengalamannya saat menjalani perpeloncoan ketika masuk UI pada tahun 1960. Waktu itu, sampai akhir 1960-an, mahasiswa yang diplonco diharuskan naik sepeda, memakai topi mancung, lalu di dadanya tergantung tulisan ‘Martabak Angus’. Karena dia agak hitam, maka diberi gelar demikian. Bukan ‘Arab keling’. Sebab, tidak dibenarkan memakai nama samaran yang berbau SARA.

Selama perpeloncoan, biasanya sang senior menyuruh yuniornya makan bubur dicampur minyak ikan. Kepalanya diguyur obat cuci perut yang juga berbau amis. Dia sendiri bersama rekan-rekannya pernah dilempar ke kolam renang di Jalan Kimia, di samping RS Tjipto Mangunkusumo. Tapi, ada orang yang siap untuk menolongnya, guna mencegah jangan sampai jatuh korban jiwa.

Kalau sang senior agak galak, biasanya yang dipelonco diperintahkan untuk push up sampai puluhan kali. Almarhum Firman Muntaco dalam Gambang Jakarte menceritakan kisah seorang plonco yang diberi gelar Koboi Cengeng. Ketika mengayuh sepedanya, iseng-iseng Koboi Cengeng mengenang hari-hari kemarin penuh suka duka.

”Jongkok…!” teriak senioren.
Rame-rame para plonco pada jongkok dengan mata tertutup slampe (saputangan). ”Ayo nunduk, nunduk! Jangan ngintip. Awas, kowe!”

Gunting-gunting pun pada berbunyi. Pembotakan dimulai. ”Babad saja, jangan kasih ati. Arit terus tu alang!” Maka rambut-rambut yang berombak, yang berjambul tinggi, yang bermodel GI (modal rambut tentara AS, ketika itu istilahnya cepak – Red), semua lenyap. Sebagai gantinya, ada kepala yang kayak tales, dan ada yang berambut seperti sikat kakus.

Dia juga ingat ketika keesokan harinya disuruh menyapu jalan trem. Tapi, ada yang menyenangkan sewaktu menghadap Nona Besar yang manis. ”Ha, koboi cengeng, pantes sama mukamu ya! Huh, kamu mau jadi dokter?” ”Ya, Nona Besar,” jawabnya sopan.
”Supaya lekas kaya?”
”Bukan, Nona Besar. Supaya bisa nulung orang sakit.”
”Hi hi hi, macemmu!” si Nona Besar ketawa dan tiba-tiba, ”He, kamu sudah punya meisye?”
”Belum, Nona Besar.”
”Ai… ai…, ketinggalan zaman! Kau mau sama saya!”
”Mau.”
”Mau? Punya dulu oto tiga biji, baru boleh bilang begitu. Ayo pigi!”

(Alwi Shahab )

sumber : Republika – Minggu, 15 April 2007

Published in: on October 25, 2007 at 4:05 pm  Leave a Comment  

Banjir

Published in: on October 25, 2007 at 3:59 pm  Leave a Comment  

Eksekusi Bang Puase

Mantan presiden Irak Saddam Hussein pekan lalu dihukum gantung. Dia maju untuk menghadapi kematian dengan memegang Alquran dan mengucapkan kalimat syahadat.

Lepas dari kesalahan Saddam yang dituduh bertindak kejam terhadap lawan-lawan politiknya saat masih berkuasa, eksekusi itu mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan di dunia. Mantan PM Malaysia Dr. Mahathir Mohammad, misalnya, menilai justru Presiden George Bush dan PM Tony Blair penjahatnya. Keduanya, kata Mahathir yang dikenal vokal terhadap Barat, justru lebih belepotan darah orang Irak karena ulah mereka lebih kejam dibanding Saddam.

Sejak AS dan sekutunya menyerbu Irak, tidak kurang 650 ribu warga Irak mati terbunuh. Jumlah korban invasi militer itu masih ditambah 3.000 warga AS yang tewas terbunuh di Irak dan belasan ribu lagi menjadi invalid seumur hidup. Seharusnya, kata Mahathir, Bush yang mesti diadili untuk mempertanggungjawabkan kejahatan perangnya.

Mendiang presiden Sukarno dalam pidato 17 Agustus 1965 berjudul Tahun Berdikari mengeritik AS, karena dengan bom-bom napalm yang sangat dasyat ketika itu membombardir kota-kota dan desa-desa di Vietnam. ”Kaum imperialis,” kata Bung Karno, ”paling suka menyebut dirinya beradab. Mereka juga paling suka menganggap kita-kita biadab. Sehingga mereka harus datang dengan pasukan-pasukannya, armada-armadanya, dengan pangkalan-pangkalkan perangnya untuk mengajarkan peradaban.

Mereka yang datang dari jarak 20 ribu km, mereka itu menganggap sebagai pembela perdamaian. Sedangkan rakyat Vietnam yang tinggal di negerinya sendiri dianggap agresor’. Salah satu harus gila. Apakah rakyat Vietnam atau AS. Kedua-duanya gila tak mungkin. Saudara-saudara bisa menyimpulkan sendiri mana yang gila dan mana yang waras.”

Kalau di Irak Bush mengakui AS menghadapi kekalahan, di Vietnam lebih memalukan lagi. Setelah kewalahan menghadapi para pejuang Vietnam, AS akhirnya menarik pasukannya. Ribuan prajurit AS tewas, jauh lebih banyak dibanding yang tewas di Irak.

Di Jakarta, pada masa kolonial sampai akhir abad ke-19, di depan gedung Balaikota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta, terdapat tiang gantungan.

Salah seorang yang dieksekusi di tiang gantungan itu adalah Bang Puase. Dia adalah seorang jagoan dari Kwitang, Jakarta Pusat. Dia dihukum gantung karena dituduh membunuh Nyai Dasima, seorang nyai rupawan dari Kuripan, Ciseeng, Parung, Bogor. Eksekusi itu terjadi pada tahun 1813 pada awal kekuasaan Inggris (Raffles) di Indonesia.

Di Kampung Kwitang, tiap Ahad kini ada pengajian Habib Ali yang didatangi ribuan warga dari Jabotabek. Konon, Bang Puase dilahirkan di salah satu tempat yang sampai tahun 1960-an bernama Gang Mendung, di Kampung Kwitang. Mungkin dia dilahirkan saat Ramadhan hingga dinamakan demikian.

Kisah itu kemudian menjadi latar belakang novel historis Nyai Dasima karya G Francis yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah pada tahun 1893 83 tahun setelah eksekusi itu terjadi. Pengarang-pengarang Belanda kala itu selalu menjelek-jelekkan mereka yang berani melawan pemerintahan kolonial. Tokoh Si Pitung, miaslnya, dalam versi kolonial digambarkan sebagai penjahat kejam, pembunuh berdarah dingin dan tidak berkemanusiaan. Padahal, yang dirampoknya adalah harta milik petinggi kolonial dan para tuan tanah yang memeras rakyat.

Dalam novel Nyai Dasima, G Francis juga memuji setinggi langit kebaikan Tuan Edward Willem, seorang petinggi Inggris yang bersama istri piaraannya (Dasima) dan putrinya (Nancy) tinggal di dekat kantor Dirjen Perhubungan Laut, di Jalan Medan Merdeka Timur sekarang ini.

Francis juga menjelek-jelekkan Islam bahwa Dasima rela meninggalkan suami dan putrinya karena diguna-guna oleh Haji Salihun yang menerima bayaran dari Samiun. Haji Salihun memberikan dua bungkus obat bubuk melalui Mak Buyung, seorang penjual telur. Salah satu obat itu diberikan kepada Nyai Dasima agar hatinya goncang dan membenci Tuan Willem.

Dalam karya yang juga berjudul Nyai Dasima, seniman Betawi SM Ardan telah meluruskannya. Menurut versinya, Nyai Dasima bersedia meninggalkan tuan kumpul kebonya setelah diingatkan bahwa menurut Islam kawin tanpa nikah adalah berzina dan dosa besar.

Menurut versi Francis, setelah menikah dan jadi istri kedua Samiun, suaminya ini dengan dalih agama mengambil seluruh harta Nyai Dasima. Ketika Dasima minta cerai, Samiun menyuruh Bang Puase untuk membunuhnya. Sedang dalam versi Ardan, Bang Puase membunuh Dasima atas pesanan istri pertama Samiun, yakni Hayati.

Versi lain menyebutkan, Bang Puase membunuh Nyai Dasima untuk melampiaskan kebenciannya terhadap perempuan piaraan orang asing, yang menurut Islam adalah zinah. Dia tidak rela Nyai Dasima perempuan piaraan Tuan Willem berada di kampungnya. Diduga, Nyai Dasima dibunuh di tengah jalan (di dekat Hotel Aryaduta atau di depan Toko Buku Gunung Agung kini), ketika naik sado bersama Samiun untuk nonton Hikayat Amir Hamzah.

Setelah melalui proses pengadilan kolonial yang sering direkayasa, akhirnya Bang Puase dieksekusi di halaman depan pengadilan Belanda (kini menjadi Museum Sejarah Jakarta). Dia melangkah ke tiang gantungan tanpa rasa takut. Kalau Saddam mengucapkan syahadat, Bang Puase bertakbir.

(Alwi Shahab )

sumber : Republika – Minggu, 14 Januari 2007

Published in: on October 25, 2007 at 3:49 pm  Leave a Comment  

Ketika Sepeda Merajai Jakarta

Sekarang kita jarang melihat orang bersepeda di jalan-jalan Ibukota. Hanya di daerah Jakarta Kota dan Priok masih ada ojek sepeda. Kemacetan lalu lintas di Ibukota sudah tidak ketolongan lagi, sehingga naik sepeda bisa membahayakan. Bisa-bisa tertabrak mobil atau motor yang berselewiran tiada henti.

Sepertinya naik sepeda sekarang sudah diharamkan di Jakarta. Padahal, di negara-negara maju, demi kesehatan masyarakatnya, mereka kembali banyak menggunakan sepeda. Dalam sistim aerobik, naik sepeda mendapat nilai tinggi dalam menjaga kebugaran tubuh dan mencegah penyakit jantung.

Kalau sekarang ada jalur khusus untuk bus Trans Jakarta yakni bus way, pada zaman kolonial ada jalur demikian untuk mereka yang bersepeda. Masyarakat, ketika itu dan sampai awal 1960-an, menggunakan sepeda untuk keperluan sehari-hari. Baik saat ke kantor, ke pasar, dan menonton bioskop, maupun ke tempat-tempat rekreasi.

Pertengahan tahun 1950-an, saat SMP, saya dan teman-teman tiap hari bersepeda ke sekolah. Kalau sekarang ada tempat parkiran khusus untuk motor dan mobil, ketika itu di sekolah-sekolah, bioskop dan kantor ada tempat untuk menyimpan sepeda. Pokoknya ketika itu, naik sepeda tidak membahayakan dan hampir tidak pernah terjadi kecelakaan. Bahkan, kita bisa saling ngebut, atau berpacaran dengan naik sepeda.

Ketika itu ada pajak khusus yang disebut peneng untuk sepeda. Saya lupa nilainya. Yang jelas pajak sepeda harus dibayar tiap tahun. Belanda dan juga RI pada awal kemerdekaan menerapkan wet atau peraturan yang ketat dalam soal pajak. Naik sepeda yang pajaknya sudah kadalursa bisa kena denda. Bukan hanya sepeda, kala itu ada peneng becak, gerobak, sado dan delman.

Orang harus mengunci sepedanya yang diparkir. Karena, ketika motor masih bisa dihitung dengan jari, pencurian sepeda sering terjadi. Yang banyak dicuri adalah berko — semacam beteri yang digesekkan pada ban sepeda untuk menyalakan lampu. Karena, naik sepeda pada malam hari tanpa menyalakan lampu akan kena denda. Demikian juga becak, sado dan delman. Bahkan, juga ada pajak radio. Pada 1963, ketika TVRI mulai mengudara ada pajak televisi.

Sampai pertengahan 1960-an, pegawai kantor pos saat mengantarkan surat-surat menggunakan sepeda. Tidak heran kalau pada pukul 07.00 pagi ratusan pegawai pos berhamburan dari kantor pos di Pasar Baru, Jakarta Pusat, ketempat yang menjadi tugas mereka. Tidak ketinggalan para penagih rekening bersepeda melaksanakan tugas keliling kota.

Warga Eropa, ketika pergi ke kantor di Kota dari Weltevreden (sekitar Gambir dan Pasar Baru), banyak yang menggunakan sepeda, yang saling berseliweran keliling kota Jakarta kala itu. Mereka memakai sepeda merek Batavus atau Fingers sistem doortrap (injak maju dengan rem kaki). Orang pribumi yang kaya menyukai sepeda Raleigh yang penuh aksesoris dan jika berjalan berbunyi tik ..tik ..tik.

Sepeda Raleigh berharga mahal. Orang yang menggunakannya dengan memakai capio (seperti kopiah koboi) dengan baju sadaria dan arloji saku menandai ia orang berdoku. Di lengannya terdapat akar bahar yang dipercaya sebagai obat anti rematik. Sedangkan di jarinya terdapat serentetan cincin batu, seperti blue safier, kecubung dan akik yang katanya punya khasiat-khasiat. Yang pasti, setelah makan pemakainya akan menjadi kenyang.

Pada tahun 1950-an-1060-an, sepeda motor terkenal seluruhnya buatan Eropa, seperti Java, Norton dan BSA. Motor buatan Jepang, apalagi Cina, belum satu pun yang nongol. Yang juga cukup banyak adalah motor buatan Itali, seperti skuter merek Vespa dan Lambretta. Juga ada motor Mobilette dan Ducati. Tapi, harganya tidak terjangkau untuk orang kampung. Hanya orang gedongan dan tajir saja yang bisa memilikinya. Waktu itu nampang sambil naik motor gampang dapat cewek. Hingga ada istilah ‘cewek bensin’.

Sampai awal 1960-an, di kampung saya — Kwitang, Jakarta Pusat — masih terdapat orang-orang Indo Belanda. Menurut Ridwan Saidi, akses orang Betawi di lingkungan Belanda totok atau Indo paling sedikit melalui tiga saluran. Hubungan pekerjaan, sosial dan percintaan.

Hubungan percintaan tampaknya mengawali jenis hubungan lain, dan jauh sebelum era perbudakan mencapai zaman emasnya. Yakni, pada periode Gubernur Jenderal Albertus van der Parra (1761-1775). Gubernur Jenderal yang hidupnya sangat mewah ini tiap tahun mengimpor sekitar lima ribu budak. Di samping juga mengekspornya ke mancanegara. Dia juga membangun Istana Weltevreden di Senen, yang kini menjadi RS Pusat Angkatan Darat, Gatot Subroto.

Kisah asrama terjalin dengan mudah, karena orang Eropa yang datang ke Indonesia pada awal penjajahan tidak disertai istri. Di samping Erberveld senior yang kawin dengan gadis Siam, gubernur jenderal Raffles, menurut Ridwan, juga menjalin cinta dengan wanita pribumi.

Kisah cinta Multatuli tidak kalah menariknya dengan cerita perjuangannya membela rakyat Lebak, Banten, menghadapi Belanda dan para bangsawan bangsanya sendiri. Tapi, kisah asmara yang paling legendaris adalah Nyai Dasima dengan tuan Willem yang berkebangsaan Inggris. Kisahnya terjadi pada masa Raffles saat Inggris berkuasa di Nusantara.

(Alwi Shahab )

sumber : Republika – Minggu, 18 Maret 2007

Published in: on October 25, 2007 at 3:45 pm  Leave a Comment  

Ulama Betawi di Abad ke-19

Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW, Jakarta Islamic Centre di Kramat Tunggak, Tanjung Priok, 27 Maret 2007, mengadakan Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Saya diminta menyampaikan materi tentang pemikiran dan karya ulama Betawi dari abad ke-19 sampai penjajahan Jepang.

Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House.

Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap — lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen — Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.

Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani ini mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh.

”Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.

Seperti layaknya meneruskan perang salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai — figur yang dihormati di masa penjajahan.

Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini — sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan — lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.

Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.”

Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, HAMKA yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air — meskipun keduanya dimasukkan ka dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.

Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan ulama terkemuka.

Pada tahun 1925, ketika Raja Ali takluk kepada dinasti Saudi, Raja Suud meminta supaya orang-orang besar, para tokoh ulama Betawi, dibebaskan. Pada tahun 1939 jamaah haji Indonesia tidak bisa kembali ke Tanah Air, karena zona laut pada awal perang dunia ke-II itu dinyatakan sebagai daerah peperangan. Raja Suud memberikan izin kepada para jamaah Indonesia untuk bermukim di negaranya.

Pekojan, di Jakarta Barat, tidak pelak lagi merupakan pusat intelektual Islam. Syaikh Junaid Al-Betawi, misalnya, dilahirkan di kampung Arab ini. Ridwan Saidi, yang ikut memberikan ceramah, menyatakan, Syekh Nawasi dan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah murid Syaikh Junaid Al-Betawi.

Pekojan juga melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji’un, dan Kyai Syamun. Termasuk guru Mansyur dari Kampung Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk, ”Betawi, rempug.”

Lahir di Pekojan pada tahun 1882, Habib Usman Bin Yahya merupakan penulis sangat produktif. Tidak kurang dari 47 kitab karangannya, sebagian besar disimpan di Arsip Nasional. Dia kemudian pindah ke Jatipetamburan, Tanah Abang. Sebelum memiliki percetakan, karangan-karangannya dengan tulisan tangan ditempelkan di Masjid Jatipetamburan. Jamaah harus mengantri untuk membacanya.

Ulama ini makin produktif menulis setelah memiliki percetakan. Tapi, karangannya harus lebih dulu diserahkan kepada pemerintah kolonial sebelum dicetak. Sebelum wafat, Habib Usman berpesan agar di makamnya tidak dibuat kubah. Dia juga menolak diadakan haul untuk memperingati kematiannya.

Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Alhabsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman. Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, dan KH Syafei Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad).

Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan — sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Alhamnidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.

(Alwi Shahab )

sumber : Republika – Minggu, 01 April 2007

Published in: on October 25, 2007 at 2:46 pm  Leave a Comment