Stad Batavia (2)

Di tangan Jan Pieterszoon Coen (1587-1629), Nassau Huis (1610-1613), ditingkatkan kualitasnya dan bahkan ia juga membangun gedung kembarannya, Mauritius Huis (1617-1623). Antara kedua gedung ini kemudian dibangun sebuah tembok batu, dan di atas tembok ini dideretkan beberapa buah meriam. Coen, juga memperbesar regu penjagaannya yang terdiri dari 25 orang menjadi 50 orang yang dipersenjatai secara kuat dengan senapan musket dan arquebuses. Bangunan-bangunan ini kemudian menjadi serupa benteng segi empat di tangan Piere de Carpentier, yang menjabat Gubernur Jenderal selama Coen bepergian ke Maluku mencari bantuan. Dinding-dindingnya, setinggi 6 – 7,5 meter, terbujur 150 meter sepanjang pinggir sungai dan sama panjangnya membujur ke pedalaman. Dinding-dinding ini berhadapan dengan tembok batu, sama halnya dengan tanggul-tanggul tanah liat yang letaknya agak kejauhan, yang kemudian akan menjadi dinding-dinding kota dengan di dalamnya dikenal sebagai Kasteel Jakatra (Kastil Jakarta).

Apa yang dilakukan Coen ini, makin mempertajam persaingannya dengan Inggris dan juga Jayakarta. Persaingan ini mencapai puncaknya pada Desember 1618. Dan, Pieter van den Broecke, komandan benteng Belanda pun ditangkap tentara Pangeran Jayawikarta yang kala itu dibantu armada Inggris pimpinan Sir Thomas Dale. Namun, pada bulan Februari 1619 Sultan Banten (Pangeran Rananenggala) yang adalah atasan Pangeran Jayawikarta menggeser (memecat) penguasa Jayakarta dan mengasingkannya ke Tanara (Citanara).

Tentu saja, orang Belanda merasa lega dan berusaha mengeratkan hubungan (sementara) dengan Banten. Garnisun benteng, yang terdiri dari orang Belanda dan sewaan Jepang, Jerman, Perancis, Skotia, Denmark dan Belgia merayakan perubahan situasi ini dengan pesta meriah. Mereka pun kemudian menamai benteng ini dengan Batavia (12 Maret 1619), untuk mengenang suku bangsa Germania, yang disebut C.J. Caesar, dalam bukunya Bellum Gallicum (50 SM), yaitu suku bangsa Batavir yang menghuni daerah di sekitar mulut Sungai Rhein. Suku Batavir, dianggap leluhur orang Belanda.

Dari benteng di tepi timur Ciliwung itu, tentara Belanda di bawah JP Coen menyerang dan menghancurkan kota serta kraton Jayakarta, pada 30 Mei 1619. Sejak itu pula, Belanda praktis menguasai bandar Jayakarta. Dan kemudian, VOC mendirikan Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta, yang tidak lagi ada rajanya kecuali Coen).

Adapun nama Batavia untuk kasteel dan kota baru disahkan pada 1620, untuk kemudian dikukuhkanlah sebuah pemerintahan (Stad) Batavia pada 4 Maret 1621. Dan, sejak saat itu pula, Jayakarta disebut Batavia selama tiga ratus tahun lebih (1619-1942).

Kini, tiada satu pun yang tersisa dari Sunda Kelapa atau Jayakarta, kecuali namanya, batu padrao di Museum Nasional dan mungkin makam Pangeran Jayawikarta. Tentang situasi dan luas kota Jayakarta yang dihancurkan JP. Coen juga agak sulit ditentukan. Tetapi, menurut perkiraan, lokasi dan luasnya terentang di antara Jl. Tiang Bendera Raya, Kali Besar, Jl. Roa Malaka dan Jl. Semut – Penjaringan – Roa Malaka II. Pusat Jayakarta terletak di sebelah utara dan selatan Jl. Kopi di tepi Ciliwung atau kurang lebih seratus meter di sebelah barat-laut Balai Kota lama atau Museum Sejarah Jakarta sekarang. Penduduk Jayakarta kala itu, kurang lebih sepuluhribu orang, yang terdiri dari ‘Orang Banten’ (berasal dari Demak dan Cirebon) yang menggantikan orang Sunda, saudagar Arab dan Tionghoa. Dan, mereka ini, kecuali orang Tionghoa kemudian mengundurkan diri ke daerah Kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta.

(sumber : http://www.bappedajakarta.go.id/)

Published in: on October 30, 2007 at 2:59 pm  Leave a Comment  

Stad Batavia (1)

Seandainya Fatahillah memperbaharui Perjanjinan Sunda Kelapa dari tahun 1522 dan penguasa di Banten serta Jayakarta tidak mengijinkan musuh bebuyutan Potugis, yaitu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) Belanda, membangun gudang di tepi Ciliwung, mungkin sekali sejarah Pulau Jawa tidak begitu parah, demikian R.Mantas Sembiring (Seribu Wajah Jakarta) dan H.M. Ambary (The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta). Sebab, Portugis di seluruh Asia tak berdaya dan tidak pernah menguasai tanah yang luas, melainkan ingin menguasai beberapa bandar saja sebagai tempat berdagang. Hal ini dilakukan Portugis di Goa, Malaka, Ternate, Dili dan Macau.

Terlepas dari itu semua, Jayakarta kala itu memang menarik begitu banyak peminat. Terutama karena hasil ladanya yang sangat bagus dan daerahnya relatif tenang serta aman. Karena itu, dua persekutuan dagang raksasa dunia kala itu, yaitu Belanda dan Inggris yang senantiasa bersaing untuk mendapatkan simpati dari penguasa Sunda Kelapa. Demikian juga dengan Portugis sendiri yang kembali lima tahun kemudian setelah 1526/1527.

Adalah Lopo Alverez, yang mengunjungi pelabuhan Sunda Kelapa dan mendapatkan kuasa untuk mengamankan hak perdagangannya di kawasan itu. Kuasa yang di-akte notaris-kan itu dibuat di Malaka pada 9 Januari 1532 dan kini disimpan dalam arsip Torre do Tombo di Lisbon. Ini dikuatkan pula oleh Fernao Mendez Pinto (Peregrinicao), yang sebagaimana disimpulkan A.Heuken SJ, bahwa pada waktu itu (1544) orang Portugis sudah terbiasa berdagang dengan Banten (dan Kelapa), atau berarti permusuhan 17 tahun sebelumnya (1526/1527) tidak berlangsung terlalu lama.

Adapun ketertarikan kongsi dagang Belanda dan Inggris terhadap Sunda Kelapa sebetulnya diawali dari informasi Linschoten. Jan Huygen van Linschoten, demikian nama lengkapnya, secara diam-diam menyalin berbagai sumber dan peta Portugis sewaktu bekerja untuk uskup agung di Goa (1583-1589) yang kemudian diterbitkannya dengan judul Itinerario. Apa yang dilakukan Linschoten ini telah menyebabkan kaum pedagang di beberapa kota Belanda mengumpulkan modal untuk bersama-sama mengirim beberapa kapal ke Jawa dan Maluku (1595). Mereka ingin memasuki pasaran rempah-rempah. Dan, pada 2 April 1595, berangkatlah empat kapal dari Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman dan singgah di Banten antara 22 Juni sampai 7 Juli 1596 serta tiba di Jayakarta pada 13 November 1596. Sementara kapal Inggris pertama kali singgah di Jayakarta pada 1602.

Tentang pusat kekuatan, kala itu, Bantenlah yang menjadi pusat. Hanya saja, kondisi Banten kemudian mengalami kekacauan sejak 1602 dan mencapai puncaknya pada 1608. Dan karena itu, Belanda maupun Inggris mulai mendekati pangeran Jayakarta supaya mereka diperbolehkan memindahkan kantor, gudang dan markas mereka ke negeri Jayakarta yang lebih teratur.

Negosiator Belanda itu adalah Kapten Jacques L’Hermite, wakil perusahaan di Banten yang bertindak atas instruksi Pieter Both, Gubernur Jenderal VOC pertama. Adapun perjanjian itu ditandatangani secara resmi pada 18/28 Januari 1611 di Jayakarta. Perjanjian ini kemudian diperbaharui pada 21 Oktober 1614 yang ditandatangi Gubernur Jenderal Rijnst, yang memasukan tambahan izin untuk membongkar rumah-rumah Tionghoa yang terlalu dekat dengan gudang Belanda. Dan, inilah berita penggusuran rumah penduduk pertama di Jakarta.

Adapun hasil perundingan L’Hermite dengan Pangeran Jayawikarta, putera Pangeran Tubagus Angke, adipati Jayakarta II (1670-1600), adalah persetujuan untuk membangun sebuah rumah kayu dan batu untuk pangkalan niaga. Dengan membayar 1.200 ringgit (real?) orang Belanda mendapatkan tanah seluas 50 x 50 depa dekat muara di pinggir timur Ciliwung. Di tempat ini, di pinggir kampung Cina, mereka boleh membangun apa yang dengan berbagai istilah disebut rumah (huis), tempat berkumpul (loge) atau kantor dagang (factorij). Bangunan yang kemudian disebut Nassau Huis (Rumah Nassau) itu dilengkapi dengan sebuah bangunan yang lebih kecil, tak jauh dari sana, yang kemudian dikenal sebagai Rumah Kapten Watting, saudagar menetap yang pertama.

(sumber : http://www.bappedajakarta.go.id)

Published in: on October 30, 2007 at 2:47 pm  Leave a Comment  

Menuju Jayakarta (2)

Adalah Tome Pires (The Suma Oriental), seorang musafir Portugis yang mengunjungi Sunda Kelapa, menuliskan bahwa pelabuhan ini telah dikunjungi kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Madura dan juga pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan dan kepulauan Ryuku (kini Jepang). Pires yang datang bersama Enrique Leme, utusan Gubernur Jenderal Portugis, d’Alboquerque, tiba di Sunda Kelapa pada 1522. Kehadiran mereka ini memang telah ditunggu Raja Sunda Samian atau Sangiang (Sang Hyang) Surawisesa (1521-1535), yang ketika masih menjadi putra mahkota sempat mengunjungi d’Alborquerque yang telah menguasai Malaka sejak 1511.

Dan selanjutnya, pada 21 Agustus 1522 disepakati sebuah perjanjian persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal. Menurut A.Heuken SJ (Historical Sites of Jakarta), “inilah perjanjian internasional pertama di negara kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Indonesia kini”. Di dalam tulisan J.D. Baros (Da Asia), dalam perjanjian itu, saksi dari Sunda Kelapa adalah ‘Padam Tumongo, Ssamgydepati et Bemgar, – yakni Paduka Tumenggung, Sang Adipati dan (Syah)bandar dan dari pihak Portugis delapan orang. Masing-masing, Fernao de Almeida (bendahari pelayaran); Fransisco Eanes (pencatat muatan); Joao Countinho; Gil Barbosa; dan Thome Pinto. Menurut Hoesein Djajadiningrat (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten), perjanjian itu (tidak ditandatangani oleh pihak Sunda, tetapi) disyahkan menurut adat dengan mengadakan selamatan.

Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar ditanam di pantai. Batu yang disebut padro itu ditemukan kembali pada tahun 1918, waktu dilakukan penggalian untuk membangun rumah baru di pojok persimpangan Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota. Jalan-jalan itu sekarang bernama Jl Cengkeh dan Jl Nelayan Timur. Adapun batu padrao sekarang disimpan dalam Museum Nasional di Jl. Medan Merdeka Barat. Lokasi semula batu ini menunjukkan, bahwa pantai pada awal abad ke-16, kurang lebih lurus dengan garis yang kini menjadi Jl. Nelayan.

Tentang kenapa Raja Pakuan Pajajaran menerima perjanjian tersebut diduga karena mereka memandang kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi mereka dalam urusan niaga terutama lada, maupun dalam menghadapi tentara Islam dari Kesultanan Demak, yang kekuatannya sedang naik daun di Jawa Tengah.

Tentu saja, Perjanjian Sunda-Portugis ini mencemaskan Sultan Trenggana dari Demak. Maka, karena itu pada tahun 1526/1527, Fatahillah, panglima pasukan Cirebon, yang bersekutu dengan Demak, mendatangi Sunda Kelapa dengan 1.452 orang tentara. Dan sejak itu, penduduk Sunda yang terkalahkan mundur ke arah Bogor. Adapun Jayakarta (nama baru Sunda Kelapa sejak 1527) dihuni oleh ‘Orang Banten’ yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon bersama saudagar-saudagar Arab dan Tionghoa di muara Ciliwung. Adapun penguasaannya berada di bawah Cirebon dan untuk kemudian di bawah Banten.

Menurut perhitungan dan perkiraan Dr. Soekanto, kejadian itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kini dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Menurut Soekanto, pada hari itu Fatahillah memberi nama baru pada Sunda Kelapa karena kemenangannya atas tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis. Tetapi, dasar historis hipotesis tersebut ada beberapa yang meragukannya. Setidaknya Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo pada tahun 1956, sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta merasa terheran-heran dan setengah mengejek ‘peringatan ganjil’ itu.

Sementara itu, menurut Prof.Dr.Slametmuljana dari Universitas Indonesia, penamaan kota ini menjadi Jayakarta baru diperoleh dari adipati yang ketiga, yakni Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta. Namun, belum terdapat data sejarah yang pasti membenarkan salah satu hipotesis tersebut. Hanya saja, Walikota Soediro (1952-1960), memperoleh dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk teori Dr. Soekanto. Maka, pemerintah Jakarta berpegang pada teori ini. Keputusan 1956 tersebut disebut sebagai ‘kemenangan Soediro’ berlandaskan ‘kemenangan Fatahillah’ yang kurang pasti tanggalnya. Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan ahli sejarah Abdurrachman Surjomihardjo, perdebatan historis itu telah diselesaikan (?) dengan keputusan politis.

Dan, menurut Dr. Soekanto, sebagai seorang pimpinan Muslim, Fatahillah tentu teringat kepada Surah Al-Fath, ayat 1, yang berbunyi, “Inna fatahna laka fathan mubinan,” (Sungguh Kami telah memberi kemenangan kepada mu, kemenangan yang tegas atau Jayakarta). Sementara menurut Abdurrachman Surjomihardjo, di samping itu, sering pula dipakai kata Surakarta, yang berarti karya yang berani dan sakti. Tetapi nama Jayakarta lebih terpakai. Adapun, nama Jakarta itu sendiri muncul pertama kali dalam buku Joao de Barros, Da Asia…, (Xacatra por outro nome Caravam – ‘Xacatra yang disebut juga Caravam (=Karawang).

(sumber : http://www.bappedajakarta.go.id/)

Published in: on October 30, 2007 at 2:44 pm  Leave a Comment  

Menuju Jayakarta (1)

Catatan sejarah mengenai masyarakat pertama kali yang bermukim dan hidup secara teratur di kawasan yang kini dinamakan Jakarta, diduga adalah penduduk Kerajaan Tarumanegara, sekitar abad ke-5. Saksi tertua akan informasi tersebut adalah Prasasti Tugu, yang hampir seribu empat ratus tahun lamanya tertanam di desa Batu Tumbuh (Tugu), Jakarta Utara, dan pada tahun 1911 dipindahkan ke Museum Nasional. Bekas tempat berdirinya prasasti itu kini tertutup jalan aspal, walaupun inilah monumen historis tertua tentang Jakarta.

Tentang Prasasti Tugu ini, A.Heuken SJ (Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta), menyebutkan bahwa prasasti tersebut berkaitan dengan empat prasasti tua di Jawa lainnya yang berasal dari masa Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara. Keempat batu lainnya yang juga ditulis dalam bahasa Sansekerta adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Cidanghiang (Lebak), Prasasti Kebon Kopi (Ciampea) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).

Pada akhir abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara diduga kuat sudah lenyap. Daerahnya takluk pada Sriwijaya untuk kemudian pada abad ke-11 berada pada pengaruh Jawa sebagaimana ditunjukkan melalui Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M). Tentang istilah Sunda (Kelapa) itu sendiri baru muncul pada abad ke-10, sebagaimana Prasasti Kebon Kopi II (942 M) dan sebuah catatan (buku) Cina yang mengandung uraian tentang Sunda, Chu-fan-chi, karangan Chau Ju-kua (1178-1225).

Menurut Abdurrachman Surjomihardjo (Sejarah Perkembangan Kota Jakarta), berita-berita tentang adanya masyarakat yang menetap di daerah Jakarta sekarang ini pasca Purnawarman hingga datangnya Portugis tidak banyak jumlahnya. Baru pada awal abad ke-16 terdapat lagi berita-berita mengenai bekas daerah Purnawarman itu. Di daerah itu muncul pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kelapa yang berada dalam pengawasan kerajaan Hindu Sunda, Kerajaan Pakuan Pajajaran, dengan Ibukota kerajaannya terletak di sekitar Batutulis (Bogor). Orang-orang Tionghoa golongan tua yang ternyata telah cukup lama berkunjung ke kawasan ini kadang masih menyebut Sunda Kelapa sebagai Kota Yecheng atau Kota Kelapa.

Published in: on October 30, 2007 at 2:40 pm  Leave a Comment  

MASYARAKAT BETAWI

Sebuah karikatur yang menggambarkan sopir dan penumpang bajaj, barangkali bisa menggambarkan profil masyarakat Betawi.
“Pan udah gua bilang, kalo mau ilangin stres, kudu sering naar boven,” kata si sopir bajaj.
“Oke deh, ane reken isi dompet dulu. Bangsa goban sih ada,” jawab si penumpang.

Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane – saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa (goban – limaribu), Jawa (kudu – harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatar belakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang.

Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India, orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker).

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.

Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu.

Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ‘suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ‘suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ‘suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

(sumber : http://www.bappedajakarta.go.id/)

Published in: on October 29, 2007 at 4:40 pm  Leave a Comment